Main Article Content

M. Rofiqi Hidayatullah, S.H

Dalam pergulatan wacana keagamaan kontemporer, konsep malaah al-Ṭūfī mampu menyita perhatian sejumlah sarjana muslim. Hal ini disebabkan karena konsep tersebut dinilai mampu menjawab berbagai problematika kekinian yang sedang tumpah dan dilematis. Sebuah gagasan yang mencerminkan kelenturan dan keramahan Islam dalam berdialog dengan realita. Sebuah gagasan yang kelak dapat menjadi jembatan untuk melakukan rekonstruksi hukum Islam (Islamic law). Malaah, menurut al-Ṭūfī, selain merupakan sumber hukum yang otoritatif, ia juga memiliki prioritas di atas sumber hukum Islam yang lain, bahkan ia dapat mengalahkan ijmā‛. Hal ini dia dasarkan pada asumsinya bahwa, pertama, pengingkar ijmā‛ masih menggunakan malaah sebagai sumber hukum. Ini berarti bahwa malaah otoritasnya telah disepakati, sedangkan Ijmā‛ masih diperselisihkan. Kedua, na-na syariah mengandung banyak perselisihan dan kontradiksi. Ia dapat memicu perselisihan yang dikecam dalam syariah. Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) dengan pendekatan ­uūliyyah, artinya pendekatan yang lebih mengakomodir teori-teori uūl al-fiqh, terlebih yang berkaitan dengan malaah. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep malaah al-Ṭūfī memiliki beberapa kelemahan secara epistemologis. Hal ini akan nampak secara jelas bila mengkaji kembali kerangka-kerangka epistemologis yang dibangun al-Ṭūfī dalam kitab komentarnya (syar) atas hadits Arba‛īn yang ditulis Imam Nawawī. Konsep tersebut, selain memiliki pondasi yang rapuh, juga ditemukan banyak kontradiksi-kontradiksi epistemologis di dalamnya. Dalam kajian uūl al-fiqh, satu kontradiksi saja cukup untuk meruntuhkan suatu teori atau konsep. Bagaimana bila kontradisi-kontradiksi tersebut tidak sedikit? Dan bagaimana pula bila konsep itu ternyata memang sudah rapuh dari awal? Hal ini setidaknya cukup untuk menggugat upaya-upaya sarjana muslim kontemporer dalam melakukan rekonstruksi hukum Islam dengan menjembatani teori ini.