HAKIM PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF AHMAD IBN HANBAL DAN YUSUF AL-QARADHAWI
Main Article Content
Penelitian ini menunjuka bahwa, Ahmad ibn Hanbal menyatakan bahwa jabatan hakim haruslah laki-laki dan tidak boleh perempuan. Menurutnya tugas seorang hakim harus menghadiri sidang-sidang terbuka yang didalamnya terdapat kaum laki-laki, ia harus memiliki kecerdasan akal yang prima, sedangkan tingkat kecerdasan perempuan berada di bawah kecerdasan kaum laki-laki, dan kehadiran perempuan bersama laki-laki dapat menimbulkan “fitnah” (ganguan).
Sedangkan Yusuf al-Qardhawi membolehkan perempuan untuk menduduki jabatan hakim secara mutlak dalam segala perkara, karena tidak terdapat nash yang melarang kekuasaan perempuan diatas kekuasaan kaum laki-laki, sebaliknya yang dilarang ialah kepemimpinan umum kaum perempuan atas kaum laki-laki.
Temuan yang diperoleh dari Penelitian ini, sependapat dengan Yusuf al-Qardhawi bahwa larangan buat perempuan untuk menjadi khalifah, pemimpin umum kaum muslim, maka seorang perempuan diperbolehkan menjadi seorang hakim apabila memenuhi syarat dan ahli dibidangnya. Akan tetapi jika memang banyak laki-laki yang mampu untuk menjadi seorang hakim, maka harus diprioritaskan, kecuali jika memang tidak ada atau sedikit yang mampu, perempuan diperbolehkan menjadi hakim dengan alasan al-ḍarūri, walaupun beliau membolekan perempuan menjabat tertinggi dalam kepemimpinan Negara yang tidak melibatkan jabatan kepemimpinan umat Islam. Beliau juga berpengang pada prinsip menutup pintu fitnah. Perempuan boleh mencalonkan untuk majlis parlemen tetapi kewajibannya menjaga adab-adab Islami dalam berpakaian, dan mengadakan pertemuan, tidak bercampur antara laki-laki tampa batas.
Kata Kunci: Perspektif, Hakim, Perempuan, Hukum Islam, Ahmad ibn Hanbal, Yusuf al-Qaradawi.